Cerpen Buta Tuli oleh Anisa Intan

Cerpen ini Untuk Kamu

Cerpen ini Untuk Kamu


29 Juni 2013 pukul 14:02

BUTA DAN TULI

Kehidupan itu indah, bahkan keindahannya tak pernah bisa kamu bayangkan. Tuahn memang Maha Adil, Dia menciptakan manusia dengan cinta, karena cinta pula manusia di ciptakan, dan manusia diciptakan untuk saling mencintai, menyayangi dan menghargai satu sama lain. Aku ingin merasakan cinta yang sesungguhnya, karena manurutku selama ini aku hanya merasakan cinta karena ada apanya. Sering aku jumpai seseorang mau jadi pacar “dia” karena “dia” punya motor bagus, berduit, tampang rupawan alias cool, pokonya karena ada alasan yang mendasar di relung hati. Aku ingin ada seseorang yang datang kepadaku, membawa sekarung cinta, tapi ia buta, aku ingin suatu hari nanti ada yang datang kepadaku membawa berlian tak bersinar namun hatinya menyidari gelapnya hatiku, aku ingin suatu hari nanti ada seseorang yang datang kepadaku dan bertanya satu hal, apakah kamu juga mau buta, bisu dan tuli untuk mengungkapkan cintamu padaku?, itu harapanku. Dan selama ini belum pernah ada yang sesuai dengan imajinasi ku. Mungkinkah aku gila? Atau mengkin aku terlalu idealis, aku tak menghiraukan yang penting aku bisa memaknai kata mencintai seorang dengan tanpa ada apanya.

Untuk gadis berusia 17 tahun seperti aku, pencarian ini susah. Pasti masih ada sedikit partikel, tersirat rasa “dia punya apa”, begitu juga dia walau sedikit masih tersirat “punya apa aku”. Tapi kehidupan itu sulit, bahkan rumus kimia pun masih kalah sulit, maka dari itu tidak pernah ada pelajaran di sekolah yang menerangkan bagaimana menghadapi kesedihan, kemarahan, dan kegembiraan, karena saking sulitnya di realisasikan. Hidup itu untuk di jalani walau jalannya berkelok-kelok dan terjal, harus di jalani. Dari sini aku yakin aku pasti akan menemukan orang seperti yang aku harapkan, cinta bukan ada apanya tapi apa adanya.

“Huft…jika sedang sendiri begini, kenapa aku jadi sering melamun…dasar zonk!” Aku merapikan meja belajarku “Ah…pergi ke rumah Diana sajalah…sendirian di rumah membosankan!” sekali lagi aku beradu dengan hatiku.

Aku bergegas mengambil sepeda polygon yang baru di belikan ibu satu minggu yang lalu. Walau aku seorang cewek aku tak seperti cewek. Yupz… dandanan acakadut, rambut sebahuku selalu aku kuncir kuda, jangankan meke up, bedakan aja aku jarang, and aku lebih memilih olah raga dibanding fashion. Sering kali ibu bilang agar aku rapi, agar aku dandan layaknya wanita seutuhnya. Tapi aku selalu mencari alasa-alasan yang menurutku gak masuk akal. Aku sering bilang pada ibuku aku begini karna Tuhan Maha Adil, maka Tuhan mengkaruniai ibuku, seorang anak seperti aku, agar ibu yang seorang model itu merasakan hidup yang keluar dari dunianya. Menurutku, keluar dari dunia kita, adalah merasakan hidup yang lain, dan itu menyenangkan. Tanggapan ibu hanya tersenyum, ibu membebaskan aku, asal aku tidak terlalu terjal berbelok. Berbelok? Tidak mungkin. Mungkin keadaan luarku seperti ini, tapi aku wanita yang mengharapkan perlindungan dari seorang laki-laki, yang tak pernah ku rasakan sejak ayahku meninggal sejak aku masih dalam kandungan. Yah…. wanita. Aku seperti ini bukan tak lain untuk menjalankan misiku, mencari sosok seperti ayah, yang menerima ibuku apa adanya. Jika dandananku tak necis ala buncis ini, ya harus diterima, inilah aku dan aku nyaman dengan semua ini.

“Dianaaaaa…Di….?” Panggilku saat aku berdiri tepat berada di bibir pintu rumah Diana.

Terdengar suara sandal jepit membunuh lantai. “srek….srekkkk…srekkkk..”

“Yes… Yesi?....” Kata Diana melongo melihatku “Gile… sahabat aku makin gile aja dandanannya….” Katanya sambil berjalan menghampiriku.

Ia memintaku untuk duduk di sofa teras rumahnya. Hemmm..empuknya.

“Eh…… maksud omonganmu tadi apa? Ada masalah dengan dandanan aku?” Kataku sembari memandangi baju yang mulai menangis tak tahan dengan bau kringatku.

“Enggak… cuman! Kamu itu hampir tiap hari datang kerumahku… and yang spektakulernya, kamu always makek baju kotak-kotak merah dengan celana jeans selutut! Gak punya baju neng? Udah satu minggu kamu pakek baju itu!” Ceramah Diana

“Yehh…. Apalah mau dikata, aku nyaman pakek baju ini, emang masalah buat lho??! Jika aku nyaman aku susah move on….hehehehe”

“eh… dasar, percuma aku ngomong…lupakan! Ada cerita apa ni Yes?”

“Cerita? Cerita duyung jatuh cinta sama kuda nil….hahahaha”

“Dasar….hahaha”

Itulah Diana. Sahabat aku satu-satunya yang gak garing jika jalan sama aku, karna dandananku yang gak necis ala buncis. Aku selalu curhat sama dia, begitu juga dia. Kami ini seperti putri raja dan sendal jepitnya. Dia putri rajanya, dan aku sendal jepitnya. Diana cantik, baik, suka bercanda dan yang pasti dia nrima aku apa adanya. Walau dia putri raja, dia selalu membutuhkan aku si sandal jepit untuk melindungi kakinya. Kenapa aku merasa jadi buruk rupa? Sandal jepit?

Aku datang kerumah Diana hanya untuk mengobati kesepianku. Di rumah aku sendiri. Ibuku sibuk dengan butiknya. Aku tahu ibu tak ingin meninggalkan ku seditik saja, dia dipaksa oleh keadaan sehingga ia selalu pulang malam bahkan jarang pulang demi aku. Dan aku mengerti, sebagai single parent fikiran mengurus rumah dan mencari nafkah harus disatukan.

####

“Ayo..ayo..ayo” suara itu memenuhi halaman sekolahku.

Hari ini adalah hari kelahiran sekolahku, SMA Jaya. Berbagai macam lomba seakan berjajar di lapangan. Ada balap karung, kepit balon, hijab, fashions, volley. Ingin rasanya aku turut dalam kegembiraan itu. Tapi kaki ini menghadangku. Gara-gara asik balap sepeda dengan comunitas balap sepedaku, jalan yang berlubang seakan jalan protocol. Tanpa permisi lubang itu menjegal sepedaku, dan akibatnya aku harus di gotong Pak Bagus Seniorku, karna tak bisa jalan. Dan sekarang walau masih sakit dan pincang, aku memaksa masuk sekolah. Aku ingin merasakan kebahagiaan di sekolah, walau cuma duduk dan melihat saja itu sudah mengobati sakit kesepianku.

Aku tersenyum melihat tingkah Diana dengan karungnya.

“Dasar……!!! Ya pasti menanglah kamu, kamu kan cungkring Diana……!!! Musuhmu si gendut dari gua warteg gitu……!!! Ah payah!!!” kataku beradu dengan hatiku sendiri.

Aku menunduk untuk membenarkan kaos kakiku yang dari tadi terasa lemas. Tanpa ku sadari dari arah samping kanan ada seorang siswa yang sedang bersenda gurau dengan sohib-sohibnya. Entah dimana letak matanya, cowok itu menubruk kepalaku yang sadang menjulur tepat didepan lututku.

“Awww….www” aku terpelanting jatuh kelantai yang mulai batuk karna banyak debu.

“Maaff..” Katanya dan membopongku untuk berdiri “Maaf banget……!!! Maaf ya??” ia memandangiku.

“Awwww…!!” kataku sambil memegangi kakiku “Udah aku duduk saja, kakiku baru aja terkilir” kataku.

“Mana yang sakit… Maaff ya…?? Kam………” Katanya tersendat dalam tenggorokannya.

“Alah…… Jagoan kayak gitu sakit? Jadi cewek ya kamu Yes..hahahahha” teman cowok yang belum ku kenal itu meledekku, mereka telah ku kenal, namun cowok yang barusan menubrukku ini siapa.

Aku tetap diam, kali ini aku belum bisa berkutik memebals ledekan itu. “Lihat saja nanti jika aku sudah pulih, ku patahkan gigi mu itu..!!!”kataku dalam hati, sambil memasang muka sinis ala aku.

Segala kegiatan hampir usai, cowok yang baru kenal sejak tubrukan tadi tetap menemaniku. Dan dialah cowok satu-satunya yang mau duduk bersamaku selama aku bersekolah di SMA ini. Tampangku yang seperti preman ini ternyata tak membuatnya canggung mendekatiku. Hah……!!! Kenapa aku jadi begini. Sejam telah melaju, tapi dia cuma diam, begitu juga aku. Kami seakan menjadi patung penjaga sekolah.

“Nie cowok diam aja? Bisu? Eh enggak tadi dia bisa ngomong? Boring! Mau pergi tapi sungkan…huft!!!! Heh cowok ngomong dong…” aku beradu dengan hatiku sendiri. Eh tapi mengapa aku begini. Aku kan cuek, kenapa aku jadi ngarepin dia.

“Udah waktunya pulang…. Aku antar kamu pulang! Aku merasa bersalah banget, maaf, aku membuat kakimu tambah sakit…” Katanya dan menggandeng tanganku.

“Aduh cowok ini… Meghargai perempuan, gak pandang bulu lo mau nolong, andai semua orang di dunia ini seperti dia” Gumamku dalam hati, agar tidak terdengar oleh dia.

Sejak saat itu kami mulai kenal. Dia sering menyapaku ketika tak sengaja kami berpapasan di lorong sekolah. Satelah kenal kurang lebih satu minggu dia minta nomor HP-ku, alasannya supaya aku lebih mengenal dia. Tapi sayang, sajak dulu aku malas pegang HP, jadi walau ibu membelikan HP tercanggih dari kalangan teman-temanku, aku menjualnya dan membagikan uang hasil jual HP itu kepada pengamis di jalanan. “Mereka labih butuh dari pada aku” itu anggapanku. Dia mengerti itu. Akhirnya aku mengenalkannya pada Diana, selain ingin menyambung rasi bintang pertemanan, aku menggunakan Diana sebagai alat komunikasiku dengan dia. Dialah Hanif, lengkapnya Alfa Hanifa. Entah apa arti nama itu, aku diam-diam menaruh hati padanya. Setiap kali aku ngobrol dengannya aku merasa ada kesinambungan. Yang terpenting dia mau menerima aku dengan keadaanku yang gak necis ala bincis ini.

####

Aku mengayuh sepedaku perlahan. Aku ingin merasakan udara sejuk di hari minggu ini. Ku hirup perlahan dan dalam. Hemh…!! Sekali lagi aku ingin berteriak jika alam membelaiku seperti ini “Tuhan terimakasihhhh……!!! Atas indahnya kehidupan ini”. Aku terus melaju, menuju campku, rumah Diana. Pasti dia sudah menungguku, sudah 3 hari aku tak datang ke rumahnya, sejak aku diajak ibu berlibur ke rumah nenek di Surabaya. Walau Blitar-Surabaya jauh dan melelahkan, namun anehnya ketika bertemu nenek dan kakek rasa lelah itu sirna. Di tambah rasa lelahku akan tambah minggat, ketika aku bertemu Diana dan menanyakan kabar Hanif. Hem……!!! Gara-gara tak punya HP, komunikasi jadi terhambat. Mungkin aku harus mengakui alat konikasi itu penting. Emang!

Sampailah aku di depan rumah Diana, tapi…………………

“Aku tak percaya…Dianaaaaaa” aku melongo melihat itu. Serasa tersambar petir, di pagi ini. Tanganku melemas, bahkan tulang kaku di dalam tubuhku melemas. Setir sepeda yang kugengam seakan berlari. Sepedaku mengiung kesakitan karna jatuh tersungkur di aspal jalan. Dan aku tetap dalaam posisiku tak bergerak, dan diam. Perlahan air yang jarang keluar dari mataku, mengalir membasahi pipi, mulutku menggunung, seperti gunung. Aku tak percaya seorang sahabat seperti Diana, asik berduaan bercanda bersama Hanif, cowok yang ku harapkan “Berlian tak bersinar namun hatinya menyidari gelapnya hatiku”. Tapi aku salah …, Hanif buakn berlian itu.

“Yesiiiiiii……!!!!” Hanif memanggilku setelah suara mabruknya sepedaku terdengar olehnya. Namun aku lari tunggang langgang seperti di kejar hantu cinta yang akan menggerogoti hatiku.

Aku tak menghiraukan Hanif, aku tak menghiraukan Diana. Aku benci mereka. Kenapa Hanif tega berbuat seperti itu, bukankah dia sering memandangi ku dengan mata cintanya itu, apa itu bukan pernyataan cinta Hanif? dan Diana bukankah? aku sering bilang ke Diana kalau aku suka dengan Hanif. Apa itu semua belum cukup menjelaskan kalau aku suka, suka dengan Hanif?

Aku tetap berlari, rasanya aku kehilangan semuanya. Kurangnya kasih sayang dari ibu telah aku terima walau kadang aku ingin meronta dan meminta kasih sayang ibu. Namun keinginan untuk menuntut kasih sayang itu telah sirna, karna aku punya Diana. Terlebih sejak ada Hanif, rasa kesepian itu hilang. Dan sekarang mereka berdua memanah perasaanku, aku benci mereka semua.

“Aku benciiiiiiii……..” Aku berteriak di dalam kamarku. Pembantu yang setia merawat rumahku, mengetuk-ngetuk pintu. Aku tetap berteriak, menangis aku ingin semua tahu, aku butuh.

Mentari mulai malu, sayub azan berkumandang, waktu magrib telah tiba. Aku berusaha menenangkan kekacauan hati ini dengan sholat. Yah…!!! Satu-satunya kawan yang masih menyangiku kali ini adalah Tuhan.

“Aku ingin mengadu padamu Tuhan!” Kataku dalam hati sambil mengenakn mukena ini.

Setelah salam terakhir, aku menengadahkan tangan, memejamkan mata dan mulutku mulai berlomba

“Tuhan maafkan atas ketidak wajaran perilakuku hari ini, aku banyak berdosa, banyak meminta, tapi mau bagaimana lagi Tuhan? Hanya Engkau tempatku meminta, walau aku banyak dosa, dan sebenarnya malu meminta, aku akn tetap meminta, aku minta berikan aku kasih sayang, itu saja Tuhan, tak lebih tak kurang, Amin” aku mengusapkan kedua tanganku ke seluruh mukaku. Sehabis sholat begini rasanya aku tenang.

Aku melipat mukenaku, namun ada yang aneh. Rasanya ada yang sedang berbaring di keranjang tempat tidurku. Aku bergegas berdiri, dan melihat ….

“Diana…???!!!” Kataku, kaget

Diana hanya diam, dia memejamkan matanya, tapi bibir manisnya mulai membuka.

“Dulu waktu TK, kasur ini menjadi arena gulat wanita tingkat Yesi Kingdom merebutkan Piala Guling Spongebob. Dua tahun yang lalu saat kita sudah sedikit dewasa, kasur ini jadi saksi, perjanjian “kasur empuk”, isi perjanjian itu adalah kita tidak boleh menyembunyikan hal yang menjadi masalah kita, kita harus saling terbuka, kita harus saling memberi semangat, dan kita tidak boleh lupa mengucapkan salam persahabatan sebelum kita berpisah”

Air mataku menetes lagi, dan kini aku diperdayakan oleh kata-kata Diana. Mengingatkanku pada kenangan indah bersamanya, sejak TK hingga sekarang. Aku diam tak bergerak. Tiba-tiba Diana membuka mata, ia duduk.

“Dan tadi kamu lupa mengucapkan salam persahabatan sebelum kamu pergi!!!” Diana lalu bangkit “Jika ada yang melanggar perjanjiannya, maka ia harus minta maaf dan menggendong yang tidak melanggar janji….!!! maaf aku ke sini cuma ingin mengembalikan sepedamu yang kau tinggal begitu saja di rumahku,” Diana pun berlalu.

Aku hanya diam, dan tetap diam. Aku merasa bersalah, bukan karena melanggar perjanjian, tetapi mengapa dengan mudahnya persahabatanku dengan Diana harus renggang cuma karena Hanif. Bukankah aku harus behagia melihat dua orang, sahabat dan orang yang aku cintai bisa dekat tanpa harus kuketahui. Bukan kah ini kebahagian, meski rasa sakit hati ini terus menghantui?, Jika aku hanya tertidurkan oleh rasa sakit hati, aku akan kehilangan Diana, sahabatku, memang seharusnya aku memaknai kata berkorban.

Malam ini, aku memutuskan untuk menenangkan diri. Terdengar suara mobil ibu yang baru pulang bekerja. Biasanya aku akan menghambur keluar kamar dan memeluk erat ibuku selagi aku masih bisa memeluknya, kali ini aku tetap berdiam di kamar, dan diam. Suara sepatu tinggi ibu terdengar mendekati kamarku. Aku merasakan ibu menyentuh pintu kamarku dengan satu tangan kanannya. Lalu ibu berbicara, walau ibu berada di balik pintu, aku merasakan ibu sedang berbicara padaku.

“Yesi, Hanif bukan yang terakhir juga bukan yang pertama, di luar sana masih banyak yang akan membawakan sekarung berlian tak bercahaya, tapi asal kamu tahu, Diana adalah selamanya karna dia seorang sahabat yang rela menjadi warung kopimu, tiap kali kau memesn kopi ia selalu ada, jangan sampai persahabatan kalian kandas hanya karena cinta monyetmu itu” hati ibu berbicara padaku. Walau ibu tak membuka mulutnya, aku sudah terlalu dekat dengan baliau, aku tahu, sebelum mulut ibu membuka dan mengeluarkan untain kata bijak peneduh jiwa. Ibu selalu menghargaiku, seperti malam ini, walau ibu rindu denganku, ibu tak mau mengganggu ketenanganku. Mungkin ibu tahu semua ini dari pemebantu rumahku, atau mungkin hati kami yang saling berbicara.

Terdengar lagi suara sepatu ibu, kali ini sepatu itu menjauh. Aku membaringkan tubuhku, tanpa kusadari otakku ikut membantuku menuju ketenangan yang kuharapkan. Aku terlelap, sejenak mungkin masalahku seakan selesai.

####

Kali ini aku memilih untuk berjalan kaki menuju rumah Diana. Aku ingin lebih lama merancang kata-kataku untuk meminta maaf kepadanya dan mengatakan aku rela Hanif menjadi miliknya. Aku harus hati-hati memilih kata, agar aku dan diana tidak merasa ada yang di rugikan. Aku berjalan perlahan, namun jalan menuju rumah diana serasa dekat saja, padahal jarak 2 km menurutku sangat jauh untuk di tempuh dengan berjalan kaki.

Aku sampai di pintu gerbang rumah Diana yang tertutup oleh fiber glass berusukkan basi. Tak biasanya sepeti ini. Aku menunduk, mungkinkah rumah ini tak menerimaku lagi. Biasanya pagar rumah Diana selalu terbuka jam-jam begini, karna aku pasti datang jam 10.00 pagi ketika hari libur, seperti hari ini. Aku mencoba meyakinkan diri, diana adalah anak yang baik, aku tetap akan meminta maaf padanya, dan menjelaskan semuanya.

Aku mengetuk-ngetuk fiber glass. “Permisi…!!!! Diana… Di…?!!” Suaraku serasa memecahkan fiber glass.

Dari dalam terdengar jawaban seseorang, suara sandal japitnya membuatku ingin cepat masuk.

Dan……..

“Yesiiii……..” Hanif melototiku, seakan ia heran melihat ku yang hari ini berdandan rapi.

“Hanif…….” Aku membalas melototinya, “Ya Tuhan… sejauh inikah hubungan Diana dan Hanif.. Sampai-sampai Hanif rela sepagi ini ngapelin Diana, eh…… Tapi???” aku memandangi pakaian Hanif.

Kami sempat beberapa lama berpandangan namun suara Diana membuyarkan semuanya.

“Heh……!!! Kalau pacaran, jangan di pintu gerbang dong…!!. Gak tahu malu apa? Diliatain semut yang berdiam di agar rumahku” diana menghampiri kami “ Ayo masuk…..!!!” Kata Diana, menggandeng tanganku.

Kami bertiga duduk membentuk lingkaran banjo di teras ruamh Diana , tempat biasa aku nongkrong dengan Diana. Diana membuka kata-kata, kami seakan ingin memulai sidang.

“Okay… fine! Sekarang kita selesaikan masalah kita…!!!” buka Diana.

“Aku…..” Timpalku.

“Eh tunggu…!!! Aku buatin minum dulu ya, biar adem, permisi Nyonya Diana” Hanif berlalu.

Aku melongo “ Di.. Dia kok ngapelin kamu pekek baju pembantu gitu, pakek permisi lagi, dan buatin minum, dia nginep di rumahmu, sejauh itukah hubangan kalian?”

“hahahahhaaa… hubungan apa? Pacar gitu maksudnya?”

“iya…” aku Lesu

“hahahhaaaa… hubungan majikan dan pembantu itu baru benar…makanya jadi orang jangan liat kesingnya doing, kemarin kamu cuma liat aku dan dia bercengkrama, udah berburuk sangka aku pacaran sama dia, emangnya aku punya tampang perebut pacar orang”

“ihhhh …. Diana” aku tersenyum lega, tapi aku masih butuh penjelasan. tetapi setidaknya aku lega.

Aku benar-benar terkejut sekaligus senang, kaget, campur aduk. Aku meminta maaf pada Diana, dan sesuai dengan anggapanku Diana memang orang baik, tanpa piker panjang ia tetap mau memaafkan aku, padahal secara tidak langsung aku berburuk sangka padanya. Aku seharusnya bersyukur memilki sahabat seperti diana, dan tak seharunya aku tidak berburuk sangka padanya.

Sambil menunggu Hanif membawakan minuman, Diana cerita panjang lebar tentang kronologi mengapa Hanif menjadi pembantu di rumahnya. Ternyata Ibu Hanif seorang single parent, Ibu hanif mau mengerjakan pekerjaan apapun, demi Hanif. Selama ini ibu Hanif bekerja sebagai tukang cuci panggilan. Penghasilannya pun tak menentu. Cerita Hanif kepada Diana seperti itu. Karena rasa solidaritas Diana tinggi, ia membujuk kedua orang tuanya untuk mempekerjakan Ibu Hanif, sekaligus menyediakan tempat tinggal untuk Hanif dan Ibunya. Dan pekerjaan itu, ialah pembantu rumah tangga, sehingga Hanif dan ibunya dapat tinggal pula di rumah Diana dan tidak ngontrak lagi. Selain menjadi pembantu, Hanif juga di sewa Diana untuk jadi guru lesnya. Dan semuanya di setujui oleh orang tua Diana. Walau pun awalnya Hanif dan ibunya tak mau, dengan bujukan dan rayuan Diana seorang ketua OSIS itu, mereka akhirnya menyetujuinya.

Hanif kembali duduk di hadapan kami berdua, setelah jus jeruk bersiap masuk dalam melut kami.

“Di…. Yes…, aku pengen ngomong, tapi aku takut…!!” hanif menunduk sambil berkata.

“Ngomong aja…. Kita tetap berkawan, walau mungkin kita beda kasta, tapi dalam hidupku kasta itu bukan membedakan tapi mempersatukan….hehehehe” Diana mulai berdakwah.

“Benar…?” Hanif menimpali.

“Berbelit-belit, udah ngomong aja!!” Aku menimpali. Hanif menenduk, ia bagai mencari arwah semut. Wajahnya tampak bingung. Namun seakan ada kekuatan yang membuatnya mendongak.

Dan……

“Aku… aku….. Aku suka sama Yesi”

“Hah?” Aku dan Diana bebarengan membuka mulut. Aku tersenyum

“Maaf aku lancang, tak seharusnya aku mengatakan ini, tapi mau gimana aku gak tahan ingin mengucapkan, mungkin aku terlalu PD mengucapkan ini, sadangkan aku hanya seorang pembantu…Maaf???” Hanif melanjutkan “Yang penting, aku lega udah ngucapin, kamu gak suka padaku tidak masalah, aku sudah bahagia punya nyali mengucapkan ini…Maaf!!!”

Aku mencoba mengeluarkan naluri kewanitaanku. Aku tak mau Hanif merasa rendah diri seperti itu. Aku mengerakkan tanganku, menuju tangannya. Aku memegang kedua tangannya. Aku berusaha menatap matanya, yang merasa rendah mengatakan cinta pada majikannya.

“Tidak Hanif…… Cinta itu gak pandang kasta, tahta, tingkat social, cinta boleh dimilki siapa saja. Ter masuk kamu, boleh aku bilang kalu aku juga suka sama kamu dan mau untuk kali ini jadi teman yang lebih dari teman biasa?”

Mata hanif berkaca “Tapi kamu harus buta dan tuli menerima cintaku, karna seluruh orang pasti akan mencemoohmu, karna kamu punya…… punya pacar seorang anak pembantu”

“Aku siap buta dan tuli!!” Aku menimpali “Karna keadaan social waktu ini, bukan kita yang memiliki, tapi orang tua kita yang memiliki, seharunya kita tak membanggakan dan merendahkan status social orang tua kita, yang harus kita lakukan mambangun ruamh cinta kita sendiri, dengan jerih payah kita sendiri”

Kami berpandangan dan hanya saling membalas senyum. Fikiranku sudah melayang, aku bahagia, ternyata doaku semalam cepat dikabulkan Tuhan. Tapi….

“Cieeeeeeeeeeeeee…” Suara cempreng Diana membuyarkan imajinasiku dan Hanif

Dasar rame.

~tamat~


Ditulis Oleh : 
Anisa Intan Fredamurti